Invalid Date
Dilihat 278 kali
Hukum Aceh dalam menyelesaikan perselisihan. Untuk kasus-kasus tertentu, mekanisme penyelesaian perselisihan dan persengketaan di Aceh telah dikukuh dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 yang kemudian diperkuat oleh Surat Keputusan Bersama antara Gubernur Aceh dengan Kepolisian Daerah Aceh dan Majelis Adat Aceh tanggal 20 Desember 2011 tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim.
Mekanisme Penyelesaian Perselisihan secara Adat Aceh
Berangkat dari kerangka pikir (paradigma) dan teori-teori di atas, dimana hukum yang ideal adalah hukum yang hidup dalam dan sesuai dengan budaya masyarakatnya, maka berikut akan disajikan Budaya Hukum Aceh dalam Penyelesaian Perselisihan pada tingkat gampong dan mukim yang mengacu pada budaya dan Hukum Adatnya.
Penyelesaian perselisihan secara adat, dapat dipahami sebagai penyelesaian sengketa secara alternatif yang sedang dikembangkan di Indonesia. Terdapat beberapa faktor perlunya dikembangkan mekanisme penyelesaian secara alternatif, termasuk penyelesiaan secara adat, antara lain: tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien dan mampu memenuhi rasa keadilan, dan sebagai langkah antisipatif membendung derasnya arus perkara mengalir ke pengadilan.
Terdapat beberapa landasan hukum yang cukup kuat, yang membolehkan pemerintahan gampong dan pemerintahan mukim melakukan sejenis peradilan untuk menyelesaikan perselisihan atau persengketaan yang terjadi dalam wilayahnya. Gampong dan Mukim merupakan masyarakat hukum adat Aceh, yang memiliki kriteria dan karakteristik tertentu yang membolehkannya melakukan sejenis peradilan. Kriteria tersebut menurut Teuku Djuned sebagaimana diacu oleh Taqwaddin, adalah :
Dewasa ini, pasca reformasi, dalam peraturan perundang-undangan terdapat beberapa ketentuan yang dapat dijadikan dasar hukum bagi eksistensi masyarakat hukum adat, yaitu :
a. Majelis Adat Aceh;
b. imeum mukim atau nama lain;
c. imeum chik atau nama lain;
d. keuchik atau nama lain;
e. tuha peut atau nama lain;
f. tuha lapan atau nama lain;
g. imeum meunasah atau nama lain;
h. keujreun blang atau nama lain;
i. panglima laot atau nama lain;
j. pawang glee atau nama lain;
k. peutua seuneubok atau nama lain;
l. haria peukan atau nama lain; dan
m. syahbanda atau nama lain.
8. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.
9. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong.
10. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.
11. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
14. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imum Mukim.
15. Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik.
16. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong
17. Surat Keputusan Bersama antara Gubernur Aceh dengan Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Majelis Adat Aceh Nomor 189/677/2011 tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain.
Dengan mendasari pada berbagai peraturan perundang-undangan di atas, utamanya ketentuan konstitusisebagai ditegaskan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, jelaslah betapa masyarakat hukum adat, yang untuk Aceh adalah gampong dan mukim telah memiliki payung hukum, justifikasi pengakuannya oleh negara pasca reformasi. Pengakuan terhadap eksistensinya tersebut, termasuk pula dibenarkannya melakukan upaya-upaya penyelesaian perselisihan dan persengketaan berbasis hukum adat dan dengan cara-cara adat.
Dalam masyarakat Aceh, ada suatu ungkapan bijak -- narit maja— yang berkaitan dengan budaya hukum masyarakat Aceh dalam penyelesaian perselisihan, yaitu :
Pantang peudang meulinteung saroeng
Pantang reuncoeng meulinteueng mata.
Pantang ureueng di teu-oeh kawoem.
Pantang hukoem di ba bak meja.
Yang tabeue ta peu mameh
Yang rayek ta peu ubeuet
Yang ubeuet ta peu gadoeh
Tanyoe laagee soet deungoen syedara
Beule saba dalam hate.
Poe rabbol kade han geupeu deca.
Maksud ketiga narit maja di atas adalah pentingnya menjaga dan memelihara perdamaian dan mewujudkan keadilan bagi masyarakat keseluruhan. Hidup rukun bagi masyarakat Aceh merupakan hidup seperti satu ayah satu ibu, dan rasa persaudaraan inilah yang selalu tercermin dalam diri masyarakat Aceh, sehingga penyelesaian sengketa yang terjadi ditengah-tengah mereka selalu diselesaikan dengan hukum adat yang berlaku dalam lingkungan mereka hidup.
Penjelasan di atas diungkapkan dalam narit maja “Pantang peudeueng meulinteueng saroeng (Pantang pedang melintang sarungnya), Pantang reuncoeng meulinteueng mata (pantang rencong melintangi matanya). Pantang ureueng di teu-oeh kawoem (pantang orang diejek kaumnya), Pantang hukoem di ba bak meja (pantang masalah hukum dibawa ke meja). Maksud dibawa ke meja dalam konteks ini masalah hukum diselesaikan oleh pengadilan formal)”. Dalam perspektif budaya hukum Aceh, yang masih dipahami oleh orang asli Aceh, membawa masalah hukum ke meja hijau pengadilan formal (ba bak meja) adalah perbuatan yang memalukan. Mereka lebih suka menyelesaikan masalahnya secara adat gampong dengan prinsip kekeluargaan (sabee keudro-dro).
Bagi masyarakat adat Aceh, asas kekeluargaan merupakan prinsip utama dalam masyarakat adat Aceh. Ketika persoalan dan peristiwa hukum terjadi dalam masyarakat, selalu diupayakan penyelesaiannya dengan cara kekeluargaan dan mengutamakan prinsip keiklasan antar sesama mereka. Penyelesaian perselisihan dan sengketa dengan hukum adat merupakan perbuatan yang baik dan sangat mulia kedudukannya baik secara hidup bersama di dunia maupun disisi Allah, karena hukum adat dengan hukum Islam sangat erat hubungannya, asas-asas yang terdapat dalam hukum adat Aceh merupakan ajaran dalam Islam, dengan demikian jelas bahwa bagi masyarakat Aceh penyelesaian secara adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam yang mereka anut yang menganjurkan perdamaian.
Kini, kearifan lokal masyarakat gampong di Aceh dalam penyelesaian sengketa dan perselisihan telah dikukuhkan dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat. Dalam Pasal 13 qanun tersebut jelas disebutkan terdapat 18 jenis sengketa/perselisihan yang dapat diselesaikan secara adat, meliputi:
Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud di atas diselesaikan secara bertahap (Ps 13 ayat 2). Ini maksudnya, sedapat mungkin, perkara-perkara sebagaimana dimaksudkan di atas, diselesaikan terlebih dahulu pada tingkat peradilan gampong, tidak langsung dibawa keluar gampong untuk menyelesaikan kasus-kasus di atas. Bahkan, dalam ayat yang lain ditegaskan lagi, bahwa Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong.
Dalam hal ini telah diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur Aceh dengan Kepolisian Daerah Aceh dan Majelis Adat Aceh tanggal 20 Desember 2011 tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim. Dalam SKB tersebut, ditetapkan beberapa keputusan :
KESATU : Sengketa / perselisihan yang terjadi ditingkat gampong dan mukim yang bersifat ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.
KEDUA : Aparat Kepolisian memberikan kesempatan agar setiap sengketa / perselisihan sebagimana dimaksud dalam diktum KESATU untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.
KETIGA : semua pihak wajib menghormati penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.
KEEMPAT : Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh dalam menyelesaikan dan memberikan putusan berdasarkan pada norma Hukum Adat dan adat istiadat yang berlaku di daerah setempat.
KELIMA : Persidangan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh dihadiri oleh para pihak, saksi-saksi dan terbuka untuk umum, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang menurut adat dan kepatutan tidak boleh terbuka untuk umum serta tidak dipungut dibiaya.
KEENAM : Putusan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh bersifat final dan mengikat serta tidak dapat diajukan lagi pada peradilan umum atau peradilan lainnya.
KETUJUH : Setiap Putusan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh dibuat secara tertulis, ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Mejelis serta kedua belah pihak yang bersengketa, dan tembusannya disampaikan kepada Kepala Kepolisian Sektor (KAPOLSEK), CAMAT serta MAJELIS ADAT ACEH kecamatan.
KEDELAPAN : Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh dalam memberikan putusan dilarang menjatuhkan sanksi badan, seperti pidana penjara, memandikan dengan air kotor, mencukur rambur, menggunting pakaian dan bentuk-bentuk lain yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami.
KESEMBILAN : perkara yang diselesaikan ditingkat Mukim adalah perkara yang tidak selesai ditingkat gampong.
KESEPULUH : Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota membina dan mengawasi pelaksanaan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh.
KESEBELAS : Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Ketua Majelis Adat Aceh beserta seluruh jajarannya (provinsi, kabupaten/kota) berkewajiban memberikan bimbingan, pembinaan, pengambangan dan pengawasan materi-materi Hukum Adat dan Adminitrasi Peradilan Adat sesuai dengan tatanan dan asas-asas Hukum Adat/Adat Istiadat yang berlaku pada lingkungan masyarakat setempat.
KEDUABELAS : Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membantu pembiayaan administrasi untuk penylenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh sesuai kemapuan daerah.
KETIGABELAS : Majelis Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh dalam meyelesaikan sengketa / perselisihan berpedoman pada Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 dan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong.
Pola penyelesaian sengkata yang berbasis budaya hukum sebagaimana dikemukakan di atas, akan menimbulkan implikasi, disatu sisi pada penguatan otonomi gampong dan sekaligus mengurangi beban kerja aparat penegak hukum (polisi, jaksa, peradilan negara). Namun disisi lain, sangat diperlukan adanya peningkatan kapasitas para peutua gampong, sehingga kearifan, kebijakan, dan kepiawaiannya dalam menyelesaikan berbagai perkara di gampong dapat memberikan rasa adil bagi para warganya.
Perlunya penguatan kapasitas bagi aparat pemerintahan gampong karena menurut Pasal 14 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, penyelesaian secara adat di gampong dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas: keuchik, imeum meunasah, tuha peut; sekretaris gampong, dan ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong sesuai dengan kebutuhan.
Pada prinsipnya, sidang peradilan adat dilaksanakan di meunasah (musalla, masjid gampong), tidak boleh di tempat lain. Hal ini penting karena menyangkut dengan legalitas hasil musyawarah penyelesaian sengketa tersebut.
Dalam Pasal 15 qanun tersebut ditentukan bahwa tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat. Walaupun ketentuan ini sangat singkat dan tegas, namun maknanya sangat dalam dan luas. Ini merupakan salah satu khas lainnya (disamping bersifat communal) dari hukum adat yang bersifat fleksibilitas. Artinya, mengenai hukum materil dan hukum formil dalam proses penyelesaian perkara tersebut mengacu pada hukum adat setempat. Hal ini sesuai dengan pepatah adat “lain lubuk lain ikannya, lain padang lain pula belalangnya”.
Berdasarkan hasil penelitian Airi Safrizal, terdapat tatacara penyelesaian sengketa / perselisihan (peukara) dan pengambilan keputusan dalam sistem Hukum Adat Aceh, yaitu meliputi :
Tingkat Kepuasan Masyarakat terhadap Peradilan Adat Gampong
Riset ini dilakukan pada tahun 2012 oleh sebuah tim yang dilakukan Dr Taqwaddin, dan kawan-kawan. Menggunakan teknik purposive sampling, dengan mempertimbangkan budaya masing-masing daerah, dari 23 kabupaten/kota dalam Provinsi Aceh maka dipilih 9 kabupaten/kota sebagai sampel untuk dikunjungi dan diwawancarai terhadap sebanyak 450 orang responden. Data diolah secara kuatitatif dan dideskripsikan secara naratif.
Daerah tersebut adalah : Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bener Meriah, Bireun, Kabupaten Pidie Jaya, Kota Langsa, Kota Lhokseumawe, dan Kota Sabang.
Penelitian ini menggunakan 12 indikator kepuasan masyarakat terhadap peradilan adat gampong, yaitu :
Dari 18 jenis perkara yang dibolehkan diselesaikan secara peradilan adat gampong menurut pasal 13 Qanun NAD No 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, terdapat 4 (empat) jenis perkara yang menempati persentase urutan teratas, yaitu :
Bagikan:
Desa Kudur
Kecamatan Winong
Kabupaten Pati
Provinsi Jawa Tengah
© 2025 Powered by PT Digital Desa Indonesia
Pengaduan
0
Kunjungan
Hari Ini